MAKALAH
SEJARAH
KEBUDAYAAN INDONESIA
“ZAMAN
LOGAM”
OLEH:
LENA YUNIANTI 18203
SHINTA WIRA SASMI
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas
segala rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga tugas ini dapat diselesaikan
dengan baik. Makalah ini membahas tentang zaman logam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing sekaligus dosen kami dimata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia yakni,
Ibu Zubaidahs Kemudian, kepada seluruh
pihak yang terkait dalam penulisan tugas
ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa
tugas ini masih terdapat banyak kesalahan, baik dalam penulisan maupun isi,
untuk itu penulis sangat mengharapakan kritik dan saran dari pembaca. Penulis
mengharapkan tugas ini dapat memberikan manfaat.
Padang,
24 Oktober 2011
Penulis
Zaman Logam
A. ZAMAN LOGAM
Pada
zaman prasejarah, zaman dibedakan
berdasarkan alat-alatnya, yaitu, zaman batu dan logam. Zaman batu yang termuda
adalah zaman neolitikum dan zaman selanjutnya adalah zaman logam. Dengan
dimulainya zaman logam, bukan berati berakhir zaman batu, karena pada zaman
logam masih terdapat alat-alat dan perkakas batu. Nama zaman logam hanya untuk
menyatakan bahwa saat itu logam telah dikenal dan dipergunakan orang untuk membuat alat-alat yang
diperlukan.
Logam
tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu guna mendapat alat yang
dikehendaki. Logam harus dilebur dahulu dari bijinya untuk dapat dipergunakan.
Leburan logam itu yang kemudian dicetak. Tehnik pembuatan benda-benda dari logam
itu dinamakan <<a cire perdue>>, dan caranya adalah: benda yang
dikehendaki dan dibuat terlebih dahulu dari lilin, lengkap dengan
bagian-bagiannya. Kemudian model dari dari lilin itu ditutup dengan tanah.
Dengan jalan dipanaskan maka selubung tanah ini menjadi keras, sedangkan
lilinnya menjadi cair dan mengalir ke luar lubang yang telah disediakan di
dalam selubung itu. Jika telah habis lilinnya, dituangkan logam cair ke dalam
geronggang tempat lilin tadi. Dengan demikian logam itu menggantikan model lilin
tadi. Setelah dingin semuanya, selubung tanahnya dipecah, dan keluarlah benda
yang dikehendaki itu, bukan dari lilin melainkan logam.
Dari
zaman-zaman prasejara, dapat ketahui bahwa zaman logam dibagi lagi atas zaman
tembaga, perunggu dan besi. Asia Tenggara tidak mengenal zaman tembaga. Setelah
neolitikum langsung ke zaman perunggu dan
berlanjut ke zaman besi. Di Indonesia zaman logam pun sulit untuk dibago
ke dalam zaman perunggu atau besi. Bisa dikatakan bahwa zama logam di Indonesia
hanya zama perunggu, karena alat-alat perkakas besi tidak banyak bedanya dengan
alat-alat zaman perunggu.
1.
Zaman
Perunggu
Zaman Perunggu adalah masalah dalam
perkembangan sebuah peradaban ketika kerajinan logam yang paling maju telah
mengembangkan teknik melebur tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman
Perunggu adalah bagian dari sistem tiga zaman untuk
masyarakat prasejarah
dan terjadi setelah Zaman Neolitikum di beberapa wilayan di dunia. Di sebagian besar
Afrika
subsahara, Zaman Neolitikum langsung diikuti Zaman Besi.
Zaman perunggu berlangsung
kurang lebih 500 tahun SM. Teknik pembuatannya adalah a
cire perdue (cetak hilang, hanya sesekali untuk mencetak). Contoh di Bali
ditemukan cetak nekara dari batu. Yang dicetak dengan cetakan batu adalah
nekara lilin, sedangkan nekara perunggunya dicetak dengan a cire perdue.
Di jaman sekarang orang membuat cetakan yang dapat dipakai berkali-kali disebut
bivalve (dua setangkup). Perunggu merupakan campuran timah putih dan tembaga.
Pada zaman perunggu atau yang disebut juga dengan
kebudayaan Dongson-Tonkin Cina (pusat kebudayaan)ini manusia purba sudah dapat
mencampur tembaga dengan timah dengan
perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras.
Alat-alat
perunggu pada zaman ini antara lain :
a. Kapak
Corong (Kapak perunggu, termasuk golongan alat perkakas) ditemukan di Sumatera
Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, Irian
b. Nekara
Perunggu (Moko) sejenis dandang yang digunakan sebagai maskawin. Ditemukan di
Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti, Selayar, Leti
c. Benjana
Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
d. Arca
Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur) dan Bogor (Jawa
Barat)
A. Kapak Corong
Pada zaman
kebudayaan di Eropa, menghasilkan kapak-kapak tembaga yang masih menyerupai
kapak batu. Bentuk dan wujud dari kapak tembaga itu tidak berbeda dari dari
kapak batu, bahkan sering terdapat tanda bahwa sengaja tembaga itu menyerupai
bentuk batu.
Di
Indonesia, kapak logam yang ditemukan adalah kapak perunggu yang sudah
menyerupai bentuk tersendiri. Kapak ini biasanya dinamakan”kapak sepatu”,
maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya
belah, sedangkan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya yang menyiku
kepada bidang kapak. Jadi, seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan
tangkainya dengan kaki orang. Lebih tepat kapak ini dinamakan kapak corong.
Kapak corong
banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan,
pulau Selayar dan Irian dekat danau Sentani. Berbagai jenis ditemukan, ada yang
kecil bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan; ada yang pendek lebar, ada
yang bulat, dan ada pula yang panjang satu sisi. Yang panjang satu sisi disebut
Cendrasa. Tidak semua kapak itu dipergunakan sebagai kapak. Misalnya, yang
kecil adalah tugal, sedangkan yang sangat indah dan juga cendrasa tidak dapat
digunakan sebagai perkakas dan hanya dipakai sebagai tanda kebesaran dan alat
upacara saja.
Cara
pembuatan kapak-kapak corong itu menunjukkan adanya tehnik a cire perdue. Di
dekat Bandung ditemukan cetakan dari tanah bakar untuk menuang kapak corong.
Berdasarkan penyelidikan, menyatakan bahwa yang dicetak bukan logamnya,
melainkan kapak yang dibuat dari lilin, ialah kapak yang menjadi kodel dari
kapak loamnya. Cetakan-cetakan itu membutikan bahwa kapak-kapak perunggu bukan
barang luar negeri saja, melainkan negeri Indonesia pun mengenalnya.
B. Nekara
Nekara
adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan
sisi atasnya tertutup. Nekara yang ditemukan di Indonesia hanya beberapa yang
utuh. Bahkan ada yang berupa pecahan-pecahan saja. Nekara itu ditemukan di
Sumatera, Jawa, Bali, pulau Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti, Selayar dan di
Kepulauan Kei. Di Alor banyak pula tedapat nekara, tetapi lebih kecil dan
ramping daripada yang ditemukan di lain-lain tempat. Nekara yang demikian itu
disebut moko. Dari hias-hiasannya dapat diketahui bahwa moko itu tidak semunya
berasal dari zaman perunggu. Ada diantaranya yang berasal darizaman majapahit,
bahkan ada yang dibuat dari zaman mutakhir abad 19, dengan memakai hiasan
lencana Inggris. Sampai kini moko sangat dihargai penduduk dan hanya disimpan
saja sebagai pusaka dan ada dipergunakan sebagai maskawin.
Di Bali
terdapat nekara yang besar sekali. Sampai kini yang terbesar dan masih utuh
tingginya 1,86 meter dan garis tengahnya 1, 60 meter. Nekara itu dianggap
sangat suci dan dipuja penduduk. Tidak hanya di Bali, di tempat lain nekara pun
dianggap barang suci. Penyelidikan
menunjukan bahwa nekara ini memang hanya dipergunakan waktu upacara-upacara
saja.
Hiasan-hiasan
itu sangat luar biasa pentingnya untuk sejarah kebudayaan, oleh karena dari
berbagai lukisan itu, kita dapat gambaran tentang kehidupan dan kebudayaan yang
ada pada saat itu. Dari hiasan-hiasan itu nampak dengan nyata, bahwa kebudayaan
perunggu Indonesia tidak berdiri sendiri, melainkan hanya merupakan bagian dari
lingkungan kebudayaan yang lebih luas yang meliputi seluruh Asia Tenggara.
Pada nekara
dari Sangean ada ganbar orang menunggang kuda beserta dengan pengiringnya,
keduanya memakai pakaian Tatar. Gambar-gambar orang Tatar itu memberi petunjuk akan adanya hubungan
dengan daerah Tiongkok. Pengaruh dari zaman itu masih nyata pada seni hias suku
bangsa Dayak dan Ngada(Flores).
Nekara dari
Sangean dan kepulauan Kei dihiasi gambar-gambar gajah, merak dan harimau,
semuanya bukan bintang dari bagian timur. Maka dapat disimpulkan bahwa
nekara-nekara itu dari lain tempat asalnya, ialah bagian dari barat Indonesia
dan benua Asia. Jelas bahwa persebaran nekara-nekara di Indonesia dari barat ke
timur jalannya.
Dapat
dikatakan bahwa tidak semua nekara berasal dari luar Indonesia. Ada pula buatan
dalam negeri. Di desa Manuaba(Bali)
ditemukan sebagian dari cetakan batu untuk membuat nekara, kini disimpan dan
dipuja di sebuah pura di desa tersebut. Batu cetakan itu diukir oleh
hiasan-hiasan yang biasa terdapat pada nekara, terutama sebagian dari
hiasan-hiasan nekara pajeng. Adanya batu cetakan nekara itu memberi kesan
bahwa, nekara itu pembuatannya dengan cara menuangkan cairan perunggu ke dalam
cetakan tadi. Akan tetapi banyak ahli berpendapat bahwa yang dicetak dengan
cetakan batu itu hanyalah nekara lilinnya saja, sedangkan nekara perunggu
dibuat dengan cara a cire perdue.
C. Benda-benda lainnya
Selain kapak
corong dan nekara, banyak benda-benda lain yang didapatkan dari zaman perunggu,
sebagian besar berupa perhiasan seperi: gelang, binggel (gelang kaki),
anting-anting, kalung dan cincin. Ada cincin yang sangat kecil. Yang tidak
dapat dimasukkan jari anak-anak, ini dapat digunakan sebagai alat penukaran
uang.
Seni menuang
patung juga sudah ada. Dengan adanya beberapa buah patung, di antaranya
arca-arca orang yang sikapnya aneh dan satu arca lagi berupa kerbau. Ada juga
beberapa patung kecil kepala binatang dengan badan yang serupa pembuluh; pada
bagian atas badannya ditempel semacam cincin, sehingga benda itu dapat
digantung, ini dapat digantung sebagai liontin(perhiasan yang menggantung pada
kalung).
Dari daerah
tepi danau Kerinci dan dari pulau madura ditemukan bejana perunggu yang
bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kueduanya mempunyai hiasan
ukiran yang serupa dan sangat indah, berupa gambar-gambar geometri dan
pilin-pilin yang mirip huruf j. Di samping itu pada bejana dari Madura nampak
pula gambar-gambar merak dan rusa dalam kotak-kotak segitiga.
Selain
benda-benda perunggu ada lagi benda yang bukan dari perunggu tetapi ada pada
zaman perunggu asalnya, yaitu manik-manik dari kaca. Terdapat pada
kuburan-kuburan, jumlahnya sangat besar, sehingga memberi corak istimewa pada
zaman perunggu itu. Manik itu sebagai nekara kecil dan mata uang, dibawa kepada
orang yang telah meninggal sebagai bekal ke akhirat. Dapat dikatakan bahwa pada
zaman perunggu, orang telah pandai membuat dan menuang kaca. Hanya tehniknya
saja yang masih sederhana, karena hasilnya yang kebanyakan agak kasar dan
kadang-kadang masih bercampur pasir(pasir adalah bahan membuat kaca).
Manik-manik
itu ada yang besar dan ada yang kecil. Bentuknya pun bermacam-macam, begitu
pula warnanya:kuning, merah, biru, hijau, dan putih. Banyak pula yang berwarna
banyak, hasil pencampuran berbagai lapis kaca dengan warna yang berlainan.
Manik-manik itu dibuat dan dipakai sampai zaman sejarah. Sampai kini banyak
orang dan suku bangsa di Indonesia yang sangat menyukai dan menghargai barang itu,
sehingga menjadi barang perdagangan, misalnya di Kalimantan, Timor dan Irian.
2.
Zaman
Besi
Dalam
arkeologi, Zaman Besi adalah suatu tahap perkembangan budaya manusia di mana
penggunaan besi untuk pembuatan alat dan senjata sangat dominan. Penggunaan bahan
baru ini, di dalam suatu masyarakat sering kali mencakup perubahan praktik
pertanian, kepercayaan agama, dan gaya seni, walaupun hal ini tidak selalu
terjadi.
Zaman
Besi adalah periode utama terakhir dalam sistem tiga zaman untuk
mengklasifikasi masyarakat prasejarah, yang didahului oleh Zaman Perunggu.
Waktu berlangsung dan konteks zaman ini berbeda, tergantung pada negara atau
wilayah geografis. Secara klasik, Zaman Besi dianggap dimulai pada Zaman
Kegelapan Yunani pada abad ke-12 SM dan Timur Tengah Kuno, abad ke-11 SM di
India, dan antara abad ke-8 SM (Eropa Tengah) dan abad ke-6 SM (Eropa Utara) di
Eropa. Zaman Besi dianggap berakhir dengan kebangkitan kebudayaan Hellenisme
dan Kekaisaran Romawi, atau Zaman Pertengahan Awal untuk kasus Eropa Utara.
Zaman
Besi berhubungan dengan suatu tahap di mana produksi besi adalah salah satu
bentuk paling rumit dari kerajinan logam. Kekerasan besi, titik lebur yang
tinggi, dan sumber bijih besi yang melimpah, membuat besi lebih dipilih dan
murah dari pada perunggu, yang memengaruhi dipilihnya besi sebagai logam yang
paling umum digunakan. Karena kerajinan besi diperkenalkan secara langsung ke
Amerika dan Australasia oleh kolonisasi Eropa, daerah-daerah tersebut tidak
pernah mengalami Zaman Besi.
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur
besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik
peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab
melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Pada masa ini manusia telah dapat
melebur besi untuk dituang menjadi alat-alat yang dibutuhkan, pada masa ini di
Indonesia tidak banyak ditemukan alat-alat yang terbuat dari besi.
Alat-alat yang ditemukan adalah :
·
Mata kapak, yang dikaitkan pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk
membelah kayu
·
Mata Sabit, digunakan untuk menyabit tumbuh-tumbuhan
·
Mata pisau
·
Mata pedang
·
Cangkul, dll
Jenis-jenis benda tersebut banyak
ditemukan di Gunung Kidul(Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur)
3.
Zaman
Tembaga
Orang
menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya dikenal
di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
tidak dikenal istilah zaman tembaga.
4.
Kebudayaan
Dongson
Kebudayaan
Đông sơn adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah sông hồng,vietnam.
Kebudayaan ini juga berkembang di asia tenggara, termasuk di nusantara dari
sekitar 1000 sm sampai 1 sm. Kebudayaan dongson mulai berkembang di indochina
pada masa peralihan dari periode mesolitik dan neolitik yang kemudian periode
megalitik. Pengaruh kebudayaan dongson ini juga berkembang menuju nusantara
yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan perunggu.
Asal
mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan austronesia . Asal usulnya
sendiri telah dicari dari barat dan bahkan ada yang berpendapat bahwa kelompok
itu sampai di dongson melalui asia tengah yang tidak lain adalah bangsa
yue-tche .namun pendapat ini sama halnya dengan pendapat yang mengaitkan dongson
dengan kebudayaan halstatt yang ternyata masih diragukan kebenarannya.
Asumsi
yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di yunnan dengan benda-benda
yang ditemukan di dongson. Meski harus dibuktikan apakah benda-benda tersebut
dibuat oleh kelompok-kelompok dari barat sehingga dari periode pembuatannya,
dapat menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk dongson atau hanyalah
tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat menjelaskan penyebaran
kebudayaan dongson sampai ke dataran tinggi burma.
Benda-benda
arkeologi dari dongson sangat beraneka ragam, dari berbagai aliran. Terlihat
dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual
yang sangat rumit. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak
dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki
tiga dengan bentuk yang indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga,
mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk gelang
dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Karya yang
terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara ngoc-lu yang kini disimpan di
museum hanoi, serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam
pada tahapan terakhir masa dongson.
Contoh
karya yang terkenal :
Nekara Ngoc Lu
Tombak Dong son
Kebudayaan
Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga ditemukan karya-karya
budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di bagian
selatan*Semenanjung Indochina*(Samrong,*Battambang*di*Kamboja) hingga
Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga
Nusantara (Indonesia).
2 comments:
Izin copy mbx.
Izin copy mbx
Post a Comment