Perubahan Sosial Minangkabau Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin



MAKALAH
“Perubahan Sosial Minangkabau Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin”








OLEH:
YOVI ERSARIADI   
17355/2010

SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013


KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis ucapkan atas segala rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini membahas tentang Perubahan Sosial Minangkabau Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin. Makalah ini ditujukan untuk pengajuan Beasiswa PPA tahun 2013.
            Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kesalahan, baik dalam penulisan maupun isi, untuk itu penulis sangat mengharapakan kritik dan saran dari pembaca. Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat.

Padang, 11 Maret 2013

    Penulis













DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................   i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1
A.    Latar Belakang  ……………………………………………………..…………..
B.     Batasan Masalah   ……………………………………………………………..……
C.     Rumusan Masalah ………………………………………………………………..
D.    Pertanyaan Penelitian ……………………………………………………………
E.     Tujuan Penelitian ………………………………………………………………...
F.      Manfaat Penelitian ……………………………………………………………….
BAB II KAJIAN TEORI
1.      Novel Sebagai Karya Sastra …………………………………………………….
2.      Sosiologi Sastra Terhadap Novel ……………………………………………….
3.      Hakikat Pergeseran Nilai ……………………………………………………….
4.      Tingkah Laku Masyarakat Minangkabau ……………………………………..
BAB III METODE PENELITIAN
A.       Metode Penelitian ……………………………………………..……..
B.      Objek Penelitian ……………………………………………….…….......
C.     Instrumen Penelitian …………………………………………………..….……
D.    Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……………………………………….
E.       Teknik Analisis Data …………………………………..............................
F.      Teknik Pengabsahan Data……………………………………………………..
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Perubahan Sosial Minangkabau Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin
1.       a. Perubahan Sosial Minangkabau pada Sistem Perkawinan Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin ………………………………………………………..
1.      b. Perubahan Sosial Minangkabau pada Keberadaan Penghulu Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin …………………………………………
1.      c. Perubahan Sosial Minangkabau pada Pemberian Gelar Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin……………………………………………………..
1.      d.  Perubahan Sosial Minangkabau pada Keberadaan Rumah Gadang Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin …………………………………………….
KESIMPULAN
1.      Kesimpulan ……………………………………………………………………………….
2.      Saran ……………………………………………………………………………………….
KEPUSTAKAAN










Perubahan Sosial Budaya Minangkabau dalam Novel Mengurai Rindu
 Karya Nang Syamsuddin
Oleh: Yovi Ersariadi/17355/Sastra Indonesia
Abstrak
Makalah ini berjudul Perubahan Sosial Budaya Minangkabau dalam Novel Mengurai Rindu.Tujuan penelitian untuk: 1) untuk  mengetahui perubahan-perubahan sosial-budaya Minangkabau dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin. Penelitian ini temasuk penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif.Instrument penelitian adalah peneliti sendiri.Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perubahan sosial budaya Minangkabau dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsuddin.
Kata Kunci: perubahansosial budaya, Minangkabau













BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Karya sastra merupakan karya imajinasi, imajinasi yang diolah melalui kesadaran kreatif individual penulisnya. Dengan kepekaan yang tajam terhadap persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan, penulis merefleksian realitas kehidupa social terhadap karya sastra, dengan sebelumnya menetapkan persoalan yang paling  mendeskripsikan
Dalam hubungan antara realita dengan imajinasi, Junus (1985:21)mengisyaratkan bahwa dalam setiap realita orang akan selalu punya intetrpretasi, dan ini akan berkenaan dengan apa yang disebut imajinasi. Tak mungkin ada imajinasi tanpa realita dan tak mungkin realita lepas dari imajinasi.
Keberadaan karya sastra dalam kehidupan memberikan manfaat bagi manusia.Melalui karya sastra manusia dapat mengambil pelajaran tentang persoalan-persoalan kehidupan dan memang menurut Damono (1989:4) karya diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan.
Karya sastra yang penulis ambil sebagai objek penelitian ini adalah novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin.
Banyak persoalan yang terjadi dalam novel Mengurai rindu tetrsebut diantaranya persoalan adat istiadat, perkawinan, agama, psikologis, nilai-nilai kehidupan, dan perubahan sosial- budaya. Dari persoalan-persoalan tersebut  penulis ingin membahas tentang perubahan nilai sosial-budaya dan persoalan adat istiadat yang terjadi dalam novel Mengurai rindu. Novel ini sangat penting untuk diteliti dan dipahami karena menggambarkan bagaimana adat-istiadat masyarakat Minangkabau pada zaman sekarang ini. Apakah adat-istiadat tersebut masih melekat di masyarakat Minang kabau itu sendiri atau terjadi terjadi perubahan sosial budaya?. Dengan memahami isi dari novel Mengurai rindu ini, masyarakat atau pembaca akan memperoleh gambaran kehidupan yang merupakan realita kehidupan yang terjadi di masyarakat Minangkabau.
Penelitian ini mengkaji perubahan sosial budaya Minangkabau dalam novel Mengurai rindu.Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi dalam adat-istiadat Minangkabau tentang penghulu, rumah gadang, dan perkawinan.
B.   Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan sebelumnya, maka penulis memfokuskan kepada perubahan sosial budaya Minangkabau dalam novel “Mengurai Rindu”, karya Nang Syamsuddin.
C.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka masalah penulisan makalah ini dirumuskan pertanyaan, yaitu:
1. Apakah perubahan sosial-budaya Minangkabau yang terjadi dalam novel “Mengurai Rindu”, karya Nang Syamsuddin?.
2. Apakah faktor-faktor penyebab perubahan sosial-budaya Minangkabau dalam novel “Mengurai Rindu” karya Nang Syamsuddin?.

D.   Tujuan
Setelah membaca novel “Mengurai Rindu”,karya Nang Syamsuddin kita dapat mengetahui perubahan-perubahan sosial-budaya Minagkabau dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin.
E.   Manfaat
Manfaat penulisan jurnal ilmiah ini yaituuntuk menambah dan memperluas pengetahuan tentang karya sastra dalam bentuk novel serta mengetahui nilai-nilai adat istiadat Minangkabau pada saat ini.Khususnya  tentang sosial budaya dalam sebuah novel. Untuk peneliti sendiri, penulisan jurnal ilmiah ini sangat bermanfaat sebagai pembelajaran dan menimbulkan kecintaan dalam mengkaji karya sastra.






BAB II
KAJIAN TEORI

Kajian teori yang akan dibahas dalam hal ini adalah (1) novel sebagai karya sastra, (2) sosiologi sastra terhadap novel, (3) hakikat pergeseran nilai, (4) tingkah laku masyarakat Minangkabau:
1. Novel Sebagai Karya Sastra
Perkembangan karya sastra ini memang sangat cepat terutama novel. Dalam istilah novel tercakup pengertian roman: karena roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang di Indonesia. Istilah novel di Indonesia dikenal setelah kemerdekaan yaitu setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan berbahasa Inggris (Semi, 1993: 32).
Novel di Indonesia secara resmi muncul setelah terbitnya buku si Jamin dan Si Johan tahun 1919 karya Merrari Siregar. Kemudian pada tahun berikutnya terbit pula novel Azab dan Sengsara oleh penulis yang sama. Sejak itu, mulailah berkembang karya fiksi yang dinamai novel dalam khazanah sastra Indonesia.
Di dalam karya sastra, kemampuan berimajinasi merupakan kreativitas pengarang. Seorang pengarang tidak akan mampu berimajinasi kalau tidak ada yang melandasinya yaitu kenyataan yang fenomenal. Tidak akan ada kenyataan tanpa imajinasi dan tidak ada imajinasi tanpa kenyataan. Kehidupan manusia selalu dalam kenyataan dan impian ( Atmazaki 1998:52).
Dengan demikian, peniruan alam kenyataan atau mimesis dan kreativitas yang melahirkan fiksionalitas dalam karya sastratidak dapat dipisahkan. Jadi, penulis ingin menghubungkan peniruan atau misesis dalam karya sastra dengan apa yang ada dalam masyarakat. Sehingga tampaklah bagaimana permasalahan sosial budaya dalam novel Menggurai Rindu dengan apa yang ada pada masyarakat Minangkabau.
2) Sosiologi Sastra Terhadap Novel
Swingewood (dalam Damono 1979:94) mengatakan bahwa dalam melakukan analisis sosiologis terhadap karya sastra seorang kritikus harus berhati-hati dalam mengatakan sastra adalah semua masyarakat, karena itu melupakan pengarang, keberadaan, dan tujuannya. Sesungguhnya sosiologi dan novel memperjuangkan masalah yang sama keduanya berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, adat, dan kepercayaan.
Sosiologi sastra adalah suatu telaah terhadap karya sastra.Telah sosiologi ii mempunya tiga klarifikasi, yaiu: 1) Sosiologi pengarang menyangkut profesi pengarang, ideologi pengarang, dan lain-lain yang menyangkut pengarang, 2) sosiologi karya sastra yakni mempermasalahkan tentang isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan berkaitan dengan masalah sosial; 3) sosiologi sastra mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakat (Wellek dan Waren dalam Damono, 1978:3)
3. Hakikat dan Pergeseran Nilai
Menurut Betens (2000: 139), nilai merupakan suatu yang menarik bagi kita, suatu yang dicari, sesuatu yang disukai dalam kehidupan manusia terkandung nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang merupakan faktor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku mencapai kepuasan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dan kaidah-kaidah memenuhi kebutuhan manusia untuk pergaulan hidup tentram dan tertib.
Setiap masyarakat dan kebudayaan mengalami perubahan, meskipun perubahan yang terjadi tidak begitu tampak karena manusi menyadari atau merasa dirinya kurang terlibat.Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, hampir tidak memungkinkan manusia dan kelompoknya untuk menutup diri terhadap pergaulan luar.Memang harus diakui di suatu pihak pergaulan itu masuk dengan mudah, namun di pihak lain, ada yang lebih sukar masuknya.
Abdulsyani (1994 : 53) memberikan penjelasan tentang perubahan atau pergeseran nilai sebagai berikut.
Perubahan sosial itu adalah perubahan fungsi kebudayaan, dan perilaku masyarakat dari keadaan tertentu keadaan yang lain. Perubahan-perubahan yang bisa terjadi merupakan kemajuan atau mungkin justru kemunduran.
Berdasarkan uraian di atas, maka pergeseran nilai-nilai adalah berubahnya nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat tertentu akibat terjadinya modernisasi.Perubahan tersebut mengarah pada kemajuan atau kemunduran nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat sebelumnya.
2. Tingkah Laku Masyarakat Minangkabau
Menurut Amir (1999: 99) sifat-sifat orang Minangkabau yang ideal adalah sebagai berikut:
1. Iduik Baraka, baukua jo bajangko (hidup berpikir, berukur dan berjangka): Dalam kehidupan orang Minangkabau dituntut untuk selalu menggunakan akalnya. 
2. Baso-basi malu jo sopan (basa-basi malu dan sopan)
3. Tenggan raso (tenggang rasa)
4. Setia
5. Adil
6. Hemat dan cermat
7. Waspada
8. Berani berkata benar
9. Arif bijaksana, tanggap dan sabar
10. Rajin
11. Rendah hati
Jamaris (1991:202) mengemukakan bahwa karakteristik masyarakat Minangkabau berdasarkan peran dan kedudukannya dalam masyarakat adalah sebagai beriku:
1. Mamak atau penghulu memiliki watak yang baik, taat beragama dan menyelaraskan norma-norma adat dengan agama. Sebagai pemimpin mereka harus tegas dan punya kasih saying terhadap anggota kaumnya.
2. Bapak atau suami memiliki watak yang arif bijaksana, adil dan selalu memperhatikan keluarga sebaik-baiknya.
3. Ibu, memiliki karakter yang patuh pada suami dan saudara laki-laki dan selalu menjaga kehormatan keluarga.
4. Anak laki-laki, patuh pada mamak dan orang tua dan siap membela keluarga bila menghadapi persoalan.
5. Anak perempuan, patuh pada orang tua, mamak dan saudara laki-laki dan selalu menjaga kehormatan keluarga.
2. 1. Pekawinan di Minangkabau
Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau mempertimbangkan asal daerah.Menurut Navis (1986:194--195), perkawinan ideal bagi masyarakat Minangkabau adalah perkawinan antara dua orang yang berasal dari daerah Minangkabau.Hal ini terkait juga dengan sistem matrilineal karena sistem ini juga mempengaruhi struktur adat yang disepakati oleh masyarakat tersebut. Perkawinan antara seorang laki-laki Minangkabau dengan perempuan yang berasal dari luar daerah Minangkabau dipandang sebagai perkawinan yang akan merusak struktur adat karena anak yang lahir dari perkawinan itu tidak dianggap bersuku bangsa Minangkabau. Sebaliknya, perkawinan antara perempuan yang berasal dari daerah Minangkabau dengan laki-laki yang berasal dari luar daerah Minangkabau diperbolehkan karena anak yang lahir dari keduanya tetap diakui bersuku bangsa Minangkabau sehingga tidak akan mengubah struktur adat (Navis, 1986:194-195).
Perkawinan  ideal dalam adat Minangkabau dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan ini lazim disebut ; a). perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang kebako, yaitu mengawini kemenakan ayah. b) Perkawinan ambil mengambil; artinya kakak beradik laki-laki dan wanita A menikah secara bersilang dengan kakak – beradik wanita B.         c) Perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong, sekampung, se nagari atau se minangkabau. Perkawinan yang kurang ideal ialah apabila salah satu pasangan berasal dari Non minang khususnya dengan wanita non minang.
























BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
            Penelitian nove Mengurai Rindu ini menggunakan metode deskriptif.Meurut Semi (1993:23) metode deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka tetapi menggunakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.Penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan tentang perubahan sosial budaya Minangkabau dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin ditinjau dari sosiologi sastra menggunakan teori perubahan sosial budaya yang diungkapkan oleh Charles Darwin yang disebut teori evolusi. Data dikumpulkan, kemudian dianalisis untuk memperoleh kesimpulan umum.
B. Objek Penelitian
            Objek penelitian ini adalah novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin yang diterbitkan oleh Rahima Intermedia Publishing, tahun 2012.Novel ini merupakan cetakan pertama, dan terdiri dari 246 halaman.
C. Instrumen Penelitian
            Instrument penelitian ini adalah peneliti sendiri, dan dibantu oleh buku-buku penunjang dan penelitian-penelitian terdahulu. Dengan buku-buku dan penelitian-penelitian terdahulu  yang menjelaskan tentang sosiologi sastra, perubahan-perubahan sosial budaya, dan dinamika sosial Minangkabau. Maka data tentang perubahan sosial budaya Minangkabau dalam novel Menggurai Rindu dapat dinventarisasikan.
D. Teknik Analisis Data
            Langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut.
1.  Mengadakan studi kepustakaan langkah ini dilakukan untuk mendapatkan bahan kepustakaan yang digunakan sebagai acuan dalam membahas novel Mengurai Rindu dan sebagai patokan bagi peneliti.
2. Mengumpulkan data-data dalam karya sastra dengan mencari permasalahan-permasalahan yang tampak melalui perilaku tokoh cerita, mengidentifikasi permasalahan tersebut.
3. Menganalisis hubungan permasalahan yang sudah diidentifikasi dengan nilai-nilai sosial budaya Minangkabai yang bergeser dan sekaligus berubah,
4. Merumuskan kesimpulan dari penelitian tersebut.
E. Teknik Pengabsahan Data
            Teknik yang digunakan untuk pengabsahan data yang sudah dinterpresentasi adalah dengan melakukan pembuktian lansung dari bagian novel yangs sesuai dengan konsep dinamika sosial. Bagian novel yang menggambarkan dinamika sosial masyarakat Minangkabau akan dikutip untuk memperlihatkan dinamika sosial, dan pada bagian akhir dari penelitian ini adalah menyimpulkan laporan.












BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
            Dinamika sosial Minangkabau direfleksikan dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin, merupakan aspek sosial yang terjadi di tengah masyarakat Minangkabau.Aspek-aspek sosial ini mencakup pada kehidupan keluarga Minangkabau yang memiliki peran, mamak, penghulu, dan rumah gadang.
            Novel Mengurai rindu karya Nang Syamsuddin yang dipakai sebagai objek penelitian ini adalah novel yang diterbitkan oleh Rahima Intermedia Publishing tahun 2012, cetakan pertama. Pengarang menyajikan novel ini dalam 13 bab. Tiap-tiap bab, membicarakan permasalahan tokoh secara rinci. Novel ini tebalnya 246 halaman, dengan penceritaan yang cukup mengesankan, bahasa yang digunakan pengarang pun cukup mudah dipahami oleh pembaca karena pengarang menggunakan bahasa yang natural.
Novel ini secara ringkas menceritakan tentang tokoh Aku (Lela) adalah seorang perempuan yang hidup antara rantau dan kampung yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta, di Padang. Ketika kakak ibunya (Mak Tuo) meninggal ia dan semua keluarga yang berada di rantau menyempatkan diri untuk pulang kampung. Umumnya keluarganya menjadi perantau.
Mak Tuo adalah orang yang selalu berada di kampung dan satu-satunya orang yang menjadi penghuni Rumah Gadang.Rumah Gadang merupakan rumah kebanggaan kaum adat Minangkabau. Karena Mak Tuo telah tiada, maka mamak mereka, yakni Angku Datuk mengumpulkan semua keluarga untuk membicarakan siapa yang akan menjadai penghuni Rumah Gadang selanjutnya. Alhasil, tidak ada yang mau menjadi penghuni Rumah Gadang. Alasannya bermacam-macam, ada yang mengatakan ia telah membuka kedai di Medan, ada yang mengatakan tidak bisa karena menjaga cucu-cucunya yang masih kecil dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Setelah Mak Tuo meninggal beberapa hari kemudian mereka berkumpul lagi dan tiba-tiba Angku Datuk menanyai Lela kapan akan menikah. Lela terkejut mendengarkan pertanyaan itu.Wajar saja kalau Angku Datuk menanyakan hal itu, karena Lela sudah berusia dua puluh tujuh tahun.Usia yang memang sudah terlalu tua untuk orang kampung.
Mendengar hal itu Lela merasa tersinggung.Ia berjanji akan segera menikah. Suatu ketika teman akrabnya, Sisca yang juga bekerja sebagai guru di SMA yang sama. Ia mengajak Lela pergi ke rumahnya. Sungguh aneh, keluarga Sisca merupakan keluarga yang demokratis.Di rumahnya ada tiga agama yang berdampingan tanpa konflik. Ayah dan kakak laki-lakinya yang sulung, menganut Konghucu, kakak laki-laki yang kedua yakni Gunawan dan ibunya menganut agama Islam dan Sisca menganut agama Katholik. Ketika Sisca dan Lela turun tangga muncul Gunawan, kakak Sisca.Sisca lalu memperkenalkan Lela kepada Gunawan.Lela dan Gunawan pun saling berpandangan agak lama.Ada getaran cinta yang timbul pada seorang pemuda dan gadis itu.
Lela dan Gunawan semakin akrab. Setiap Lela pulang ketika selesai mengajar, Gunawan selalu menjemputnya, dan ia pun sudah mulai akrab dengan kelaurga Lela. Suatu ketika Lela menyampaikan maksud dan tujuannya kepada keluarganya bahwa ia merasa cocok dan ingin membangun sebuah rumah tangga dengan Gunawan. Meskipun Lela sudah menjelaskan bahwa Gunawan asli Padang, suku Melayu dan beragama Islam sesuai dengan yang Datuk Angku inginkan.Namun, Datuk Angku menolak kemauan Lela dengan alasan bahwa Gunawan itu adalah keturunan Tionghua.Ia menyarankan kepada Lela agar mencari pemuda lain.
Beberapa bulan kemudian Lela tetap melangsungkan pernikahan dengan Gunawan. Lela merasa bahwa Gunawan adalah pria yang baik dan agamanya pun sama dengan agama keluarganya. Lagi pula dari semua keluarganya, hanya Datuk Angku saja yang tidak merestui pernikahan tersebut.
Pernikahan Lela dan Gunawan berjalan dengan baik, sesuai yang direncanakan. Sembilan bulan kemudian ia telah melahirkan seorang anak laki-laki. Beberapa tahun kemudian ia kembali melahirkan seorang anak perempuan. 
Rindu Lela untuk pulang kekampung halaman sudah sangat mengumpal, lebih-lebih ketika hari raya Idul Fitri. Namun karena ia tahu bahwa Angku Datuk pasti tidak akan menerimanya karena ia memilih Gunawan yang keturunan Tionghua menjadi suaminya. Tapi lama-lama hatinya yang keras akhirnya cair juga.Lela pulang ke kampung halamannya, untuk memecahkan masalah yang sudah lama, tetapi masih belum terselesaikan. Di antaranya yaitu tentang dirinya sendiri yang tidak direstui oleh Angku Datuk menikah dengan Gunawan, dan membangun sebuah Rumah Gadang, serta menggantikan penghulu, yang disarankan oleh Angku Sutan, yang juga mamaknya.
Rumah Gadang, makin lama makin lapuk. Namun, tidak ada menyegerakan untuk membangunnya kembali. Salah satu alasannya karena keterbatasan dalam masalah dana. Selain itu menggantikan seorang penghulu juga masih belum terlaksana.Salah satu penyebabnya karena Datuk Sutan menginginkan gelar Datuk Putih A, namun yang diminta oleh panitia ialah gelar Datuk Putih B. hal itu tentu saja tidak diterima oleh masyarakat.
Suatu ketika Lela mendapat kabar bahwa Angku Datuk meninggal dunia. Kemudian ia langsung pulang ke kampung halamannya, untuk menyaksikan pekuburan Datuk Angku. Sebelum Datuk Angku meninggal dunia, beliau berpesan kepada istrinya bahwa ia telah memaafkan Lela. Beliau juga meminta satu permintaan terakhirnya yaitu membangunkan Rumah Gadang.Permintaannya itu dibebankan kepada Lela.Lela hanya pasrah saja dan di dalam hatinya berkata kenapa masalah ini dibebankan kepadaku.Lela lalu berunding dengan suaminya, untuk menyelesaikan masalah tersebut.Namun, suaminya kurang menyetujui permintaannya Lela. Wajar saja, karena ia tahu perasaan suaminya yang tidak diakui oleh Angku Datuk. Pada akhirnya permintaan Datuk Angku untuk membangunkan sebuah Rumah Gadang  kini masih belum terlaksana.
Kunjungan keluarga dari perantaunnya kini semakin jarang.Terlebih ketika lebaran idul Fitri maupun hari raya idul Adha.Orang rantau hanya menelpon kalau ingin tahu kabar dari kampung.Rumah Gadang masih tetap tinggal puing-puing.Penghulu baru pun belum diangkat.
                  Novel ini memiliki latar tempat di Sumatera Barat yakni perkampungan di Minangkabau.Dalam novel ini tidak dijelaskan secara rinci latar tempat. Sedang tokoh yang terdapat dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Saymsuddin yaitu, Tokoh Aku (Lela), secara fisik: seorang perempuan, guru, cantik dan secara Psikis (watak): baik, sopan, peduli, pendendam.Gunawan, secara fisik: seorang pria beragama Islam yang gagah yang bekerja di sebuah perusahaan dan secara Psikis (watak): baik, sopan, penyayang dan pengertian. Angku Datuk, secara pisik: seorang mamak dan secara psikis (watak) Keras  kepala, dan mau menang sendiri. Angku Sutan, secara pisik: seorang mamak dan ecara psikis egois, tak peduli dengan orang lain, bahkan keluarganya sendiri. Etek Tangah, seorang etek yang sifatnya peduli/ perhatian dan penyayang.Etek Bungsu, seorang etek yang sifatnya tidak mau mendengarkan pendapat orang lain dan berbicara apa adanya. Des, seorang laki-laki yang mempunyai istri, sifatnya suka bercanda.Uda Gadang, seorang kakak tertua yang bekerja sebagai kepala dinas yang sifatny baik, tegas, peduli, dan serius. Sisca (Teman Lela/Adik Gunawan), secara fisik: seorang guru yang cantik dan masih lajang dan secara psikis (watak): baik dan ramah dalam pergaulan. Mama Gunawan, seorang ibu yang alim dan baik.
Dalam Novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin , dilihat dari sisi sosiologis bahwa dalam sistem sosial budaya Minangkabau, mamak adalah saudara laki-laki dari ibu. Dalam arti luas mamak adalah semua kaum lelaki.Kemenakan adalah anak dari saudara perempuan, dalam arti luas kemenakan adalah semua anak perempuan sepersukuan.Penataan kehidupan dalam sepersukuan, mamak adalah pemimpin terhadap kemenakan sepersukuan dengannya.Penunggalan kemimpinan dalam satu persukuan dipilih salah seorang mamak yang siangkat menjadi penghulu dengan gelar datuk.
Namun dalam novel ini hubungan social antara mamak dan kemenakan kurang baik yakni antara Angku Datuk dan Lela.Angku Datuk tidak merestui hubungan kemenakannya dengan Gunawan dikarenakan Gunawan merupakan keturunan Tionghoa.
Selain itu adanya hubungan yang tidak baik antara mamak dan mamak, yakni antatra Angku Datuk dengan Angku Sutan.Hal ini menyebabkan Rumah Gadang yang menmjadi kebanggaan Minangkabau yang hampir punah masih belum dibangun dan penghulu yang sudah lama tidak hilang masih belum juga diangkat. Selain itu dikarenakan masyarakat Minangkabau yang  mayoritasnya adalah perantau yang hanya pulang pada hari-hari tertentu saja, seperti lebaran atau salah satu dari keluarga mereka ada yang menikah, barulah mereka pulang ke kampong halamannya.
Novel Mengurai Rindu ini juga mempermasalahkan tentang seorang gadis Minag yang menjalin hubungan kekasih dengan laki-laki berdarah Tionghoa. Dalam adat Minangkabau, jika menikah dengan selain keturunan Minang seperti Tionghoa, Jawa maka itu akan merendahkan adat minang. Oleh karena itu, Mamak Si Lela ini tidak mengizinkan kemenakannya untuk menikah dengan laki-laki yang berdarah campuran.
Novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin ini banyak menceritakan perubahan sosial budaya Minang Kabau yang terjadi pada saat sekarang ini. Perubahan itu terjadi disebabkan oleh banyak hal seperti: modernisasi, akulturasi, teknologi, dan sebagainya. Maka daritu, penulis akan membahas tentang perubahan sosial budaya di Minangkabau dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin.
2.      Perubahan Sosial Minangkabau Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin
Perubahan yang terjadi dalam novel ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
            1.a. Perubahan Sosial Minangkabau pada Sistem Perkawinan Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin
            Sistem matrineal merupakan sistem kehidupan yang dianut suku Minangkabau, menempatkan perkawinan menjadi persoalan dan urusan kerabat.Mulai dari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan, dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala urusan akibat perkawinan itu.Oleh karena itu, falsafah orang Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Masalah pribadi sepasang anak manusia yang akan membangun mahligai rumah tangga tidak terlepas dari pengelolaan secara bersama.
Dalam novel Menggurai Rindu karya Nang Syamsuddin ini, penulis menceritakan tentang perkawinan tokoh Aku (Lela), seorang gadis minang menjalinkan  hubungan kekasih dengan darah Tiongha. Dalam adat minang, jika  menikah dengan agama lain seperti Tiongha maka itu akan merendahkan adat minang. Selain itu, maka pernikahan tersebut di takutkan akan merusak sistem sosial masyarakat Minangkabau yang mengakibatkan perubahan sosial budaya pada masyarakat itu sendiri. Perubahan itu bisa saja terjadi seiring berkembangnya waktu,  karena percampuran budaya antara budaya Minangkabau sendiri dengan budaya Tionghoa. Maka, pernikahan yang semacam itu juga bukanlah termasuk pernikahan yang ideal.
Pada saat ini,perkawian ideal menurut adat Minang sudah sangat jarang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sendiri. Karena anggapan sebagian pemuda-pemudi Minangkabau, menikah dengan orang yang bukan berasal dari suku Minang sama saja memperluas hubungan silaturahmi. Selain itu, ada di salah satu daerah di Minagkabau yaitu Pariaman, terdapat istilah uang jemputan.Uang jemputan itu, diberikan kepada calon pengantin pria.Akan tetapi, pada saat ini uang jemputan menjadi daya tarik tersendiri bagi laki-laki Pariaman.Seiring dengan masuknya nilai-nilai ekonomis dalamperkawinan, maka status sosial gelar kebangsawanan mengalami erosi.Jabatan, pangkat,gelar sarjana, dan status ekonomi lebih diperhitungkan.Orang lebih berpikir rasional, untuk apa meminang menantu dengan harga tinggi, meskipun ia bergelar bangsawan, bila ia pengangguran, atau hanya pedagang kaki lima. Lebih baik “menjemput” menantu dari kalanganrakyat biasa tetapi sarjana dan bekerja di kantor, sekalipun harus membayarnya dengan mobil.
Bagi sebagian perempuan, keberadaan uang jemputan bisa dikatakan sebuah dilema.Pada satu sisi uang japuik merupakan bagian dari adatistiadat yang berkaitan dengan banyak aspek kehidupan seperti harga diri, gengsi, kebiasaan, dan hubungan kekerabatan. Pada sisi lain keberadaan uang japuik merupakan masalah karena memberatkan bagi perempuan. Maka dari itu, sebagian dari perempuan Minang memilih untuk melakukan perkawinan dengan suku lain atau daerah lain yang sama-sama bersuku Minagkabau yang tidak memerlukan uang japuik tersebut.
Hal ini menyebabkan perkawinan ideal menurut adat Minangkabau tidak dapat terjadi.Perubahan nilaisosial budaya pun terjadi di Minangkabau.
2.    b. Perubahan Sosial Minangkabau pada Keberadaan Penghulu Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin
PenghuluPenghulu adalah seorang laki-laki yang dituakan pada sebuah suku di Minagkabau, yang membidangi tentang seluk beluk urusan adat.Penghulu dalam kehidupan sehari-hari dipanggil “datuk” fungsi seorang penghulu di Minangkabau adalah sebagai pemimpin suku dalam urusan adat.
Sebagai pimpinan, penghulu bertanggungjawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat,  dalam hal ini dikatakan kewajiban penghulu, yaitu: “kusuik manyalasai, karuah mampajaniah.” (kusut menyelesaikan, keruh memperjernih).
Dalam novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin ini keberadaan seorang penghulu tidak lagi diutamakan.Itu membuktikan bahwa dalam masyarakat Minangkabau sendiritelah perubahan terhadap nilai-nilai sosial budaya telah terjadi.Karena, kalau di hubungkan dengan makan dari karya sastra sendiri yang merupakan dari gambaran kehidupan sosial.Jadi, penulis novel Mengurai Rindu ingin menceritakan bagaimana keadaan sebenarnya yang terjadi di Minangkabau.
Penulis menceritakan keberadaan seorang penghulu dalam masyarakat saat ini, dengan memberikan konflik-konflik pada pemilihan-pemilihan gelar.Akibat pemilihan gelar-gelar itu, penghulu tidak ada.Mengapa?Karena perseteruan yang terjadi diantara beberapa pihak terhadap gelar yang dipilih tidak disetujui.
Seharusnya, dalam melakukan pemilihan penghulu itu, tidak seharusnya mengutamakan keegoisan maisng-masing.Keegoisan itu mengakibatkan nilai-nilai adat yang seharusnya dijaga atau dilestarikan menjadi mengalami perubahan sosial.Perubahan-perubahan itu sebaiknya dijaga agar tidak ada lagi nilai-nilai sosial yang berubah-ubah.
2.         c. Perubahan Sosial Minangkabau pada Pemberian Gelar Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin
Bagi masyarakat Minangkabau, pangulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuak.Akan tetapi mengangkat kebesaran adat tidak dikatakan mengangkat datuak, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “ hulu“, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan, dengan demikian seorang penghulu sama artinya dengan pemimpin
Gelar merupakan satu warisan adat di Minagkabau yang pewarisannya dapat dilakukan dalam suatu peristiwa adat yang dikenal dengan istilah "batagak gala" atau batagak penghulu.Gelar yang diwariskan kepada penghulu di Minangkabau dikenal dengan penggilan Datuak (Datuk).selain pewarisannya kepada penghulu, gelar datuk dapat juga diberikan kepada: (1) panungkek (2) Anggota kaum yang basako penghulu (3) orang-orang yang berjabatan tinggi seperti kepala nagari. Beberapa gelar penghulu di Minangkabau yang banyak diwariskan kepada anak kemenakan antara lain : datuk bandaro, datuk bagindo, datuk sampono, datuk basa, datuk rajo seperti datuk rajo baruah, datuk rajo sampono, datuk rajo penghulu. Gelar-gelar Penghulu di Minangkabau mengandung makna filosofis yang sangat tinggi sesuai dengan konsep hidup orang Minangkabau yang bersumber kepada "Alam Takambang Jadi Guru". Kekuatan-kekuatan unsur yang terdapat di alam ini seperti air, angin, api, gunung dan sebagainya disimbolkan kepada makna gelar-gelar penghulu di Minangkabau. Setiap gelar-gelar penghulu di Minangkabau selalu menggunakan bahasa Minangkabau dan hal ini merupakan suatu kekhasan dan keunikan tersendiri dalam warisan adat Minangkabau.
Dalam novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsuddin ini, dalam pemilihan gelar untuk menjadi penghulu menjadi suatu permasalahan yang sangat berat dalam pemilihan penghulu.Permasalahan itu berawal ketika tidak ada yang pantas menjadi penghulu dalam novel itu.Sehingga, penghulu yang, penghulu yang seharusnya ada dalam adat Minangkabau, menjadi tidak diperduliakn lagi.
Pada saat ini, di Minangkabau pemberian gelar untuk seorang datuk bukanlah harus kepada keturunan Miang saja.Akan tetapi, pemberian gelar datuk bisa diberikan kepada orang yang berkuasa, mempunyai jabatan yang tinggi.Misalanya, memberikan gelar adat kepada para pejabat negara tampaknya menjadi tren. Jadi, tidak heran, meskipun Bupati Musi Banyuasin (Muba) Alex Noerdin bukan orang Minangkabau, dia justru diberi gelar adat Minangkabau adalah Lembaga Kekerabatan Adat Minangkabau (LKAM) Sumatera Barat yang menganugerahkan gelar 'Yang Dipertuan Datuk Sripaduka' kepada Alex Noerdin, yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sumsel itu. Pemberian gelar ini disaksikan ribuan warga Minangkabau perantauan di Palembang.
Contoh lain, Dewasa ini banyak sekali Tokoh Nasional yang mendapat gelar Datuk di ranah minang sebut saja, Taufik Kiemas,Surya Paloh,Yusril Ihza mahendra sampai Presiden SBY. Pemberian gelar ini menjadi sebuah Fenomena,karena hanya bermodalkan sebuah alasan atau menggunakan dalil pembenaran yang hanya berdasarkan retorika semata, tanpa sebuah fakta tertulis atau bukti berupa sebuah dukumen yang otentik,bermuatan nilai Historis yang menyatakan sebagian atau keseluruhan Tokoh-tokoh tersebut yang menyatakan orang minang. Apakah hanya bermodalkan ketenaran,kekayaan dan karena mereka yang kebetulan menjabat sebuah posisi penting Negeri ini, lalu dengan mudah memberikan gelar sako atau gelar datuk. Sedangkan di beberapa waktu lampau untuk mendapatkan gelar datuk saja membutuhkan energi berbulan,bahkan bertahun-tahun karena berbagai macam analisa dan kajian yang digunakan oleh Petinggi adat setempat,mulai membolak balek ranji dan mengurai kembali isi tambo adat. Begitu rumitnya proses pemberian sebuah gelar Datuk ini,karena kerumitan tersebut menyebabkan banyak gelar datuk yang “dilipek” atau tidak bisa dilewakan.
Dari contoh diatas, bisa kita simpulkan bahwa semua itu merupakan bukti-bukti perubahan social yang terjadi di Minangkabau.
2.         d.  Perubahan Sosial Minangkabau pada Keberadaan Rumah Gadang Dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsudin
Rumah Gadang merupakan rumah tradisional yang merupakan hasil kebudayaan dari suku minangkabau.Rumah Gadang bukan hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian luar dan dalamnya mengandung arti dan makna tersendiri yang secara keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilinial yang dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Rumah Gadang merupakan rumah tradisional yang merupakan hasil kebudayaan dari suku minangkabau.Rumah Gadang bukan hanya merupakan suatu bangunan besar, panjang dan tinggi menjulang, tetapi adalah sebuah bangunan rumah adat yang bagian luar dan dalamnya mengandung arti dan makna tersendiri yang secara keseluruhan merupakan cerminan dari sistem kekerabatan matrilinial yang dianut oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Dalam Novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin ini, penulis menceritakan tentang pembangunan rumah gadang yang seharusnya dimiliki oleh suatu kaum sebagai lambang dari kaum tersebut mulai diabaikan. Itu membuktikan bahwa perubahan sosial budaya telah terjadi disebagian daerah di Minangkabau ini, karena akan dikaitkan pada teori sastra bahwa sastra cerminan dari masyarakatnnya.
Rumah gadang kini bukanlah hal terpenting lagi pada suatu kaum.Mereka lebih mengutamakan pembangunan rumah pribadi atau menambah asset pribadi dari pada membangun rumah gadang yang merupakan simbol dari kaumnya.Beberapa daerah yang penulis ketahui, juga tidak laggi mementingkan keberadaan rumah gadang.Anggapan mereka, “mambangun rumah surang se payah, ba’a ka mambangun rumah gadang”.Persepsi seperti itu semestinya dihilangkan dari diri masyarakat Minang.Karena, apabila setiap masyrakat Minang merubah pemikiran mereka seperti anggapan atau pameo diatas, maka hilanglah symbol dari masyarakat Minangkabau.
Sebagai bukti bahwa novel Mengurai menceritakan bahwa keberadaan rumah gadang mulai di acuhkan atau tidak dipedulikan lagi keberadaannya adalah: “Rumah gadang itu kini sudah runtuh. Rata dengan tanah. Yang masih utuh hanyalah fondasi yang terbuatdari semen dan dua jejeran tangga, sebuah lagi pintu depan dan sebuah lagi pintu dapur. Semua cerita itu kudengar dari Mak Tuah”(Mengurai Rindu:216). “Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan tentang Rumah Gadang dan Penghulu di antara keluarga kami. Semua asyik dengan tugas masing-masing” (Mengurai Rindu:242).
Keseluruhan perubahan sosial budaya Minangkabau dalam Novel Mengurai Rindu Karya Nang Syamsuddin yang telah penulis uraikan bisa saja terjadi oleh berbagai faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Kurangnya perhatian dari masyarakat Minangkabau sendiri terhadap hal-hal penting dalam adat Minang yang harus tetap dilestarikan atau dijaga. Seperti: rumah gadang, penghulu, dan sistem perkawinan;
2.      Lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan dan dasar agama yang goyah;
3.      Pengaruh kebudayaan lain;
4.      Tidak dilaksanakannya fungsi sosial, meliputi rendahnya kesadaran akan sejarah dan rendahnya tanggung jawab.
















BAB V
KESIMPULAN
Penulis akan membagi bagian kesimpulan ini menjadi dua bagian, yaitu:
5.      A. Kesimpulan
Novel Mengurai Rindu karya Nang Syamsuddin ini menceritakan tentang perubahan social budaya yang terjadi di Minangkabau.Perubahan social budaya itu disebabkan oleh berbagai factor-faktor.Seperti, kurangnya fungsi social di masyarakat itu sendiri, pengaruh budaya lain, dan sebagainya. Perubahan social budaya yang terjadi dalam Novel Menggurai Rindu karya Nnag Syamsuddin ini, adalah:
1.      Perubahan sosial budaya yang terjadi pada sistem perkawinan;
2.      Perubahan sosial budaya yang terjadi pada pemberian gelar;
3.      Perubahan sosial budaya yang terjadi pada keberadaan penghulu;
4.      Perubahan sosial budaya yang terjadi pada keberadaan rumah gadang;
Dalam kehidupan sehari-hari, adat istiadat yang ada seharusnya pat uterus dilestarikan. Karena adat istiadat, perilaku, ikon adat, dan kebiasaan merupakan simbol utama dari adat Minangkabau atau ciri khas seorang Minang.
5.      B. Saran
Penulis mengharapkan suatu kebudayan yang terdapat pada daerah, hendaknya dilestarikan dan dijaga.Karena, kebudayaan itu merupakan symbol dari adat Minangkabau sendiri.












KEPUSTAKAAN
http://repository.unand.ac.id/16969/1/skripsi.pdf, diakses pada tanggal 2 Desember 2012
http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/15/carito-di-kadai-kopi/, , diakses pada tanggal 2 Desember 2012
http://repository.unand.ac.id/5269/, , diakses pada tanggal 2 Desember 2012
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah pengantar. Gramedia:Jakarta.
Semi, Atar. 1993.  Metode penelitian Sastra- Metode penelitian. Angkasa: Bandung
Syamsuddin, Nang. 2012. Mengurai Rindu. Penerbit Intermedia Publishing: Yogyakarta.


0 comments:

Post a Comment