KAJIAN UNSUR INTRINSIK CERPEN PELAJARAN MENGARANG


MAKALAH
KAJIAN UNSUR INTRINSIK CERPEN PELAJARAN MENGARANG
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA








NAMA  : YOVI ERSARIADI
NIM/BP: 17355/2010
PRODI   : SASTRA INDONESIA



FAKULTAS BAHASA SASTRA dan SENI (FBSS)
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2010











KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis ucapkan atas segala rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini membahas tentang KAJIAN UNSUR INSTRISTIK CERPEN PELAJARAN MENGARANG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA dalam mata kuliah Pengantar Pengkajian Kesustraan.
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing sekaligus dosen kami dimata kuliah Pengantar Pengkajian Kesusastraan yakni Bapak Prof. Dr. Hasanuddin WS, M. Hum. Kemudian, kepada seluruh yang terkait dalam penulisan makalah ini.
            Akhirnya, penulis menyadari bahwa sanya makalah ini masih terdapat banyak kesalahan, baik dalam penulisan maupun isi, untuk itu penulis sangat mengharapakan kritik dan saran dari pembaca. Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat.
Padang, 1 November 2010


                 Penulis



























i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………….. I
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………… II PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………… 1
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………… 4
PENUTUP………………………………………………………………………………………………………………… 8
a.      KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………. 8
b.      SARAN…………………………………………………………………………………………………… 8
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………… 9




































PENDAHULUAN
           
            Cerpen Pelajaran Mengarang Karya Seno Gumira Ajidarma ini membahas tentang seorang anak bernama Sandra yang mendapat kesulitan besar, karena mendapat tugas mengarang dari Bu Guru Tati. Ia harus benar-benar mengarang. Ia tidak dapat mengarang apa adanya seperti anak-anak lain. Untuk judul apapun yang diberikan BuGuru Tati. Sedangkan, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan seperti yang mereka alami. Akan tetapi Sandra tidak, Sandra harus benar-benar mengarang dan kali ini ia mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul. Judul yang pertama Keluarga Kami yang Berbahagia. Judul yang kedua Berlibur ke Rumah Nenek.
            Sandra mendapatkan judul pelajaran mengarang yang tidak sesuai dengan yang dialaminya. Ketika ia mulai berpikir tentang Keluarga Kami yang Berbahagia Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng minuman yang kosong berserakan di atas meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terserat entah kemana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
            Saat Sandra mulai memikirkan judul yang kedua, Berlibur ke Rumah Nenek dan yang masuk dalam pikirannya adalah gambaran seorang wanita yang yang sedang berdandan di depan cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias didrinya dengan sapuan warna yng serba tebal. Merah itu sangat tebalpada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan. Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tau siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami tapi semua orang didengarnya memenggilnya Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra kepada Mami kalau ia keluar kota berhari-hari entah kemana. Dan wanita itu membawa Sandra ketempat  kerjanya.
            Kemudian, Sandra mulai berpikir tentang Ibu. Apakah ia menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik ke atas. Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa, yang biasa dilontarkan kepadanya. Sandra juga tau wanita itu sangat mencintainya. Setiap hari Minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini dan ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan boneka dan apapun yang diinginkannya. Setiap kali Sandra makan wanita itu selalu menatapnya dnngan penuh cinta dan seperti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan dengan es krim sambil berbisik “Sandra, Sandra..” Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita, dari sebuah buku berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.
            Empat puluh menit lewat sudah, belum ada secoret kertas di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitikpun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang terlaluberarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Beberapa diantaranya sudah selesaidan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas. Sandra mulai menulis judulnya: Ibu.
Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati. Semua anak berdiri dan menumpuk karangannya di meja guru. Sandra menyelipkan kertasnya di tengah. Di rumahnya, sambil menonton RCTI Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separuh dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisikan kalimat sepotong:                                                                                                  Ibuku seorang pelacur……. 
            Pengarang cerpen Pelajaran Mengarang ini adalah Seno Gumira Ajidarma. Dalam dunia kepenulisan nama Seno Gumira Ajidarma adalah salah satu nama sastrawan yang dikenal sejak pertengahan tahun 70an di Indonesia. Dalam dunia kepenulisan sastra Indonesia, Seno Gumira Ajidarma mula-mula menggunakan nama samaran Mira Sato. Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Seno Gumira Ajidarma mulai menulis di SMA, tahun 1974.
Sastrawan yang satu ini merupakan sosok pembangkang. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak jelek-jelek amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. “Aku pernah diskors karena membolos,” tutur Seno.
Imajinasinya liar,  setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Ia terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar, sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.
            Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam. “Jadi aku bisa pakai celana jins, rambut gondrong”. Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan.”
Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N. “Lalu aku lihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tapi istrinya cantik (Sitoresmi). Itu kayaknya dunia yang menyenangkan,” kata Seno.
            Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar, semua pada mengejek  Seno sebagai penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli, Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Tembus juga, “umurku baru 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu aku merasa sudah jadi penyair,” kata Seno bangga.
Kemudian Seno menulis cerpen dan esai tentang teater. Jadi wartawan, awalnya karena kawin muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia butuh uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. “Nah, dari situ aku mulai belajar motret,” ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini.
Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi mau jadi seniman. Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. “Tapi, kemudian karena seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,” ujar Seno disusul tawa terkekeh.

0 comments:

Post a Comment