Tugas
Aplikasi Filsafat Dalam Ilmu Sastra,
Kebudayaan dan Seni
YOVI
ERSARIADI
17355/2010
SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA dan SENI (FBS)
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2011
Aplikasi Filsafat Dalam Ilmu Sastra
Sastra dan filsafat laksana
dua sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan
yang lainnya; bersifat komplementer, saling melengkapi. Masalahnya, karya
sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat, betapapun
penekanannya pada usaha unutuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia,
sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. filsafat akan bermakna dalam sastra
kalau sastra diisi dengan nilai-nilai karena filsafat hasil perenungan manusia
untuk menemukan jatidirinya. Jadi disini sastra berfungsi mengkomunikasikan
nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karaker sastra. Sastra mengandung
unsur hiburan sehingga nikmat dibaca. Keuntungan filsafat dengan sastra yaitu
pemikiran kefilsafatan jadi tidak terasa. Sastra tidak menggurui beda dengan
filsafat yang murni. Filsafat disebut sebagai pengetahuan lapis kedua bahkan
ketiga.
Secara asasi,
baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas
keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka
filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah
catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang
menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang
membedakan karya sastra dan filsafat.
Jika sastra dan filsafat bekerja sama maka keduanya akan
mendapat keuntungan jadi sastra tidak kering dari nilai-nilai kehidupan. Objek
dari filsafat realitas kehidupan yang penuh makna atau pemaknaan terhadap
kehidupan itu sendiri. Sastra akan lebih berisi tidak hanya hasil khayalan
tanpa bobot tapi menjadi rekayasa bahasa sehingga mengandung nilai edukatif
yang mengandung nilai kehidupan. Sastra dan filsafat bisa membawa kehidupan
sosial lebih bermakna.
Masalah hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya
bukanlah masalah baru. Sejak manusia mengenal cerita-cerita mitologis, sejak iu
pula sesungguhnya hubungan sastra dengan filsafat — dalam pengertian yang lebih
luas — sulit dipisahkan. Apakah cerita klasik macam Bhagawad Gita, Mahabharata,
Ramayana, Epos Ilias dari Homerus, kisah Dewi Matahari Jepang. Ameterasu, karya
sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam bentuk karya
sastra, atau karya sastra yang berisi ajaran-ajaran filsafat?
Dalam khazanah
sastra Indonesia, meski karya-karyanya belum dapat disejajar-kan dengan
mitologi-mitologi tersebut, nama-nama Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin
As-Samatrani, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji atau Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah
Abang), dikenal sebagai tokoh sufi yang ajaran tasawufnya (:filsafat)
disampaikan le-wat puisi-puisi atau cerita-cerita simbolik. Munculnya istilah
sastra sufi beberapa wak-tu lalu, juga sebenarnya bersumber dan mengacu pada
karya-karya tokoh tasawuf itu.
Jika
kita menarik karya-karya mereka jauh ke belakang, maka kita juga akan menemukan
begitu banyak ajaran tasawuf (:filsafat islam) yang justru disampaikan dalam
bentuk karya sastra. Sebut saja misalnya, karya Rabiah al-Adawiyah, penyair sufi
wanita yang konon wafat tahun 752 (?), Al-Hallaj (828-921), Fariduddin Attar
(1117-1234), Ibn Thufail (1106-1185) atau Sa’di Jalaluddin Rumi (1207-1270).
Di
dunia Barat, juga sudah sejak lama mitologi Yunani klasik menjadi sumber ilham
yang tak ternah habis-habisnya digali, baik untuk bidang filsafat, maupun
sastra. Bahkan hingga kini tidak sedikit sastrawan di
sana yang memuat semacam karya transformasi yang bersumber dari mitologi Yunani
itu. Dalam perkembangannya kemudian, sejalan dengan munculnya berbagai macam
aliran filsafat (Barat), muncul pula sejumlah filsuf yang menyampaikan gagasan
filsafatnya lewat karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dijadikan sebagai ‘alat’
untuk mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.
Sekadar
menyebut beberapa di antaranya, periksa misalnya karya-karya Vol-taire
(1694-1778). Lewat novel-novelnya, L’Ingenu (Si Lugu), Candide, dan Zadig,
Voltaire secara satiris hendak mengejek filsafat Leibniz (1646-1716), terutama
yang menyangkut filsafat deisme. Begitu pula Friedrich Nietzsche (1844-1900)
lewat The Spoke Zarathustra-nya, menampilkan tokoh Zarathustra sebagai simbol
manusia ung-gul (uebermensch) yang dicita-citakan Nietzsche agar memperoleh
kebebasan mutlak. Dalam dunia filsafat, ia dipandang sebagai filsuf
eksistensialisme yang paling radikal.
Tokoh lain yang
dianggap sebagai penganjur filsafat eksistensialisme yang juga menyampaikan
gagasan filsafatnya lewat karya sastra, antara lain Albert Camus (1913-1960)
dan Jean Paul Sartre (1905-1980). Gagasan filsafat eksistensialisme yang
disam-paikan Sartre terdapat pada karya-karya pentingnya yang berupa novel,
antara lain, La Nausee (Rasa Muak) dan Les Chemins de la Liberte (Jalan-jalan
Kebebasan), serta karya drama Les Mouches (Lalat-lalat) dan Huis Clos
(Pintu-pintu tertutup).
Hal yang sama
juga dilakukan Albert Camus. Betapapun Camus sebenarnya lebih dikenal
sebagai sastrawan daripada
filsuf, lewat La Peste (Sampar) dan L’Etranger (Orang Asing), ia juga bermaksud
mempertegas gambaran dirinya sebagai sosok eksistensialis dalam berhadapan
dengan kehidupan yang absurd.
Dalam filsafat
islam, di samping tokoh-tokoh yang disebut terdahulu, Mohammad Iqbal
(1873-1938) juga dikenal sebagai tokoh pemikir (:filsuf) Islam yang salah satu
karya filsafatnya ditulis dalam bentuk puisi. Melalui puisi-puisi Parsi-nya
yang panjang, sebagaimana yang tertuang dalam magnum opus-nya yang monumental,
Javid Namah, Iqbal menyampaikan kritik pedasnya
terhadap filsafat Barat dan pemi-kiran Islam tradisional. Di samping itu juga,
ia juga menekankan pentingnya progresi-vitas dalam sikap dan pemikiran generasi
muda Islam. Dalam hal itulah, pengembaraan rasio untuk memperkukuh keimanan
Islami, mutlak ditumbuhkembangkan.
Tentulah kita
masih dapat menyebut sejumlah karya sastra lainnya yang secara tematik
memperlihatkan gagasan filsafat tertentu yang dianut atau yang sengaja
diso-dorkan pengarangnya. Hal tersebut tidak hanya mempertegas, betapa sastra
dan filsafat begitu erat hubungannya, tetapi juga tidak sedikit filsuf yang
secara sadar menyam-paikan gagasan filsafatnya dengan mengemasnya ke dalam
bentuk karya sastra.
Sungguhpun
demikian, harus diakui pula, bahwa di antara karya-karya sastra yang sejenis
itu, ada yang cenderung lebih berat ke filsafat daripada ke karya sastranya,
atau sebaliknya, atau juga kedua-duanya. Karya-karya Camus, Sartre atau Iqbal,
dapatlah kita masukkan karya sastra yang sarat bermuatan gagasan filsafat.
Dalam kesusastraan Indonesia modern, karya yang semacam ini kita temukan pada
novel-novel Iwan Simatupang (Ziarah), Danarto (Godlob), Sutan Takdir
Alisjahbana (Grotta Azzura), Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di
atas Bukit).
Dalam konteks
itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang dibungkus ke dalam kemasan
sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya sastra. Artinya, bahwa karya
itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi kesastraannya. Gagasan
filsafat yang terkandung dalam karya itu seyogianya menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari unsur-unsur kesastraan lainnya. Dengan demikian, gagasan
filsafat itu akan lebur menjadi salah satu unsur yang justru ikut membangun
nilai-nilai estetika karya bersangkutan.
Kecenderungan sastrawan yang
terbawa oleh hasrat besarnya untuk berfilsafat dan mengabaikan nilai estetika
kesastraan, akan tergelincir jatuh pada karya yang lebih dekat ke karya
filsafat daripada ke karya sastra. Akibatnya, karya itu akan kehilangan daya
tarik dan gregetnya sebagai karya sastra, karena ia lebih mementingkan gagasan
filsafatnya daripada nilai estetiknya. Karya Sutan Takdir Alisjahbana, Grotta
Azzura, misalnya, merupakan contoh betapa karya itu menjadi kurang menarik
karena Alisjhbana lebih menekankan dialog-dialog panjang mengenai filsafat
daripada kepaduan unsur-unsur novel itu sebagai kesatuan estetik. Dengan
demikian karya itu — boleh jadi — lebih tepat ditempatkan sebagai karya filsafat
daripada karya sastra.
Begitulah,
betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua karya sastra — yang
bermutu — akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap
dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu
sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan
filsafat-nya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai
filsafat yang dikandung-nya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar
jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang
agung, dan bukan pada karya sastra picisan.
Aplikasi Filsafat Dalam Kebudayaan
Perlu disadari
bahwa manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa dan negara hidup dalam suatu
sosial budaya. Maka membutuhkan pewarisan dan pengambangan sosial budaya yang
dilakkan melalui pendidikan. Agar pendidikan berjalan dengan baik. Maka
membutuhkan filosofis dan ilmiah berbagai sifat normatif dan pedoman
pelaksanaannya. Karena pendidikan harus secara fungsamental yang berazas
filosofis yang menjamin tujuan untuk meningkatkan perkembangan sosial budaya,
marbtabat bangsawa, kewibawaan dan kejayaan negara.
Pentingnya
kebudayaan untuk mengembangkan suatu pendidikan dalam budaya nasional
mengupayakan, melestarikan dan mengembangkan nilai budaya-budaya dan pranata
sosial dalam menunjang proses pengembangan danpembangunan nasional serta
melestarikan nilai-nilai luruh budaya bangsa. Merencanakan kegairahan
masyarakat untuk menumbuhkan kreaktivtas ke arah pembaharuan dalam usaha
pendidikan yang tanpa kepribadian bangsa.
Pengertian
kebudayaan dair beberapa ahli :
1. Taylor,
budaya adalah suatu keseluruhan komplek yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadan dan kemampuan yang lain serta
kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat
2. Linton,
kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajri dan
hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
3. Kotjaraningrat,
mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik dari
manusia dengan belajar
4. Herkovits,
kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hiup yang dicptakan oleh manusia
Kebudayaan
mempunyai fungsi yang besari bagi mnausia dan masyarkat, berbagai macam
kekuatan harus dihapi sepert kekuatan alam dan kekuatan lain. Selain itu
manusia dan masyarakat memerlukan kepuasan baik secara spritual maupun materil.
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia danpat
mengembangkan kebudyaan. Begitu pula manusia hidup dan tergantung apa
kebudayaan sebagai hasil ciptaanya. Kebudayaan memberikan aturan bagi manusia
dalam mengolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Dan kebudayaan
juga diharakan dengan pendidikan yang akan mengembangkan dan membangkitkan
budaya-budaya dulu, agar dia tidak punah dan terjaga untuk selamanya. Oleh
karena itu, dengan adanya filsfat, kita dapat mengetahui tentang hasil karya
manusia yang akan menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama dalam
melindungi manusia terhadal alam lingkungannya. Sehingga kebudayaan memiliki
peran :
1. suatu
hubungan pedoman antar manusia atau kelompoknya
2. wadah
untuk menyalurkan perasan dan kemampuan lain
3. sebagai
pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia
4. pembeda
manusia dengan binatan
5. petunjuk-petunjuk
tentang bagaimana harus bertindak dan berperilaku dalam pergaulan
6. pengaturan
agar manusia dapat mengerti bagaimnaa seharusnya bertindak, berbuat, menentukan
sikapnya jikga berhubungan dengan orang lain
7. sebagai
modal dasar pembangunan
Kebudayaan
masyarkat tersebut sebagian besar dipenuhi oleh kebudayan yang bersumber pada
masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau
kebudayan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dlaam melindungi masyarakt
terhadap lingkungan di dalamnya.
Aplikasi Filsafat Dalam Seni
Filsafat dengan seni memiliki hubungan yang erat, karena estetika (keindahan) dalam seni merupakan bagian dari filsafat. Namun dalam penggolongan objeknya estetika masuk dalam ruang lingkup bahasan filsafat manusia. Baru pada abad ke 20 estetika mengeser perannanya sebagai filsafat keindahan dan menuju kearah keilmuan, yang sebelumnya mengkhususkan diri hanya pada telaah atas karya-karya seni saja. Maka estetika abad 20 dikenal sebagai estetika moderen atau estetika ilmiah karena bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, dll, dari situlah filsafat seni menjadi bagian dari studi estetika ilmiah, dengan pendekatan yang lebih empiris-ilmiah.
Agar seni dapat selalu
berkembang secara dinamis namun tidak bergeser dari akar filsafat seni yaitu
keindahan, hendak'lah para pelaku seni berupaya untuk selalu menciptakan sebuah
karya seni tidak lepas dari akar filsafat seni itu sendiri yaitu estetika. Dengan
menciptakan suatu karya demi keindahan maka secara otomatis karya-kaya yang
seni yang dihasilkan, akan selalu tercipta secara estetis, bagi diri sendiri
maupun untuk orang lain.
3 comments:
sipppp....mantap
http://radikalizm666.blogspot.com/
makasiih,.... :))
Post a Comment