Kebudayaan Sunda


TUGAS
MANUSIA dan KEBUDAYAAN
“Kebudayaan Sunda”







OLEH:
YOVI ERSARIADI    17355/2010
MEFI ELLINI            17357/2010
LENA YUNIANTI      18203/2010
OKTAVIANDI           18202/2010


FAKULTAS BAHASA dan SENI (FBS)
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR
            Puji syukur penulis ucapkan atas segala rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas ini membahas tentang Kebudayaan Sunda dalam mata kuliah Manusia dan Kebudayaan.
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing sekaligus dosen kami dimata kuliah Pengantar Pengkajian Kesusastraan yakni Bapak Zulfadhli, S.S., M. A. Kemudian, kepada seluruh yang terkait dalam penulisan tugas ini.
            Akhirnya, penulis menyadari bahwa tugas ini masih terdapat banyak kesalahan, baik dalam penulisan maupun isi, untuk itu penulis sangat mengharapakan kritik dan saran dari pembaca. Penulis mengharapkan tugas ini dapat memberikan manfaat.

Padang, 1 Oktober 2011

Penulis







KEBUDAYAAN SUNDA
ISTILAH SUNDA
Istilah Sunda berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada.
                Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India).

               Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar.
KEBUDAYAAN SUNDA
Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda, ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua.
Seperti pada kebudayaan Sunda, kebudayaan Sunda termasuk kebudayaan tertua. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda. Ada beberapa Watka dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Hampir semua masyarakat Sunda beragama Islam namun ada beberapa yang bukan beragama Islam. Walaupun berebeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk alam semesta.
Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda sering dikenal dengan masyarakat religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah dan silih asuh, saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling malindungi. Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda melakukan gotong royong untuk mempertahankannya.
Budaya Sunda memiliki banyak kesenian, diantaranya adalah kesenian sisingaan, tarian khas Sunda, wayang golek, permainan anak kecil yang khas, alat musik Sunda yang bisanya digunakan pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas Sunda yang menampilkan 2-4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari sisingaan sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acara khitanan.
Wayang golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita perwayangan. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang di mainkan. Jaipongan adalah pengembangan dan akar dari tarian klasik .
Tarian Ketuk Tilu, sesuai dengan namanya Tarian ketuk tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang disebut ketuk sejumlah 3 buah.
Alat musik khas Sunda yaitu, angklung, rampak kendang, suling, kecapi, gong, calung. Angklung adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu, yang unik, enak didengar angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia.
Rampak kendang adalah salah satu instrumen musik tradisional yang di mainkan bersamma-sama instrumen lainnya.
Gambar Sisingaan                                                              Tarian ketuk Tilu
http://p3rt1w1t1w1.files.wordpress.com/2011/02/angklung.jpg?w=173&h=126http://p3rt1w1t1w1.files.wordpress.com/2011/02/sisingaan.jpg?w=272&h=185                

Tari Jaipong                                                                            Alat musik Kendang                                               
http://p3rt1w1t1w1.files.wordpress.com/2011/02/rampakknd.jpg?w=175&h=63http://p3rt1w1t1w1.files.wordpress.com/2011/02/ketuktilu.jpg?w=267&h=189                      


Sistem Kekerabatan Orang Sunda
Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan "pancakaki". Kamus Umum Basa Sunda (1993), mengartikan "pancakaki" dengan dua pengertian. Pertama, "pancakaki" menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti mengenal istilah kekerabatan seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, Euceu, anak, incu, buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, nini ti gigir, dan sebagainya.
Istilah-istilah di atas merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu seperti bibi, emang, kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, aki ti gigir.
Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda, 2005) urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis bapak maupun ibu. Berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang menganut sistem kekerabatan matriarchal dan patriarchal, yaitu hanya memperhitungkan garis ibu saja dan garis keturunan bapak.
Sistem Perkawinan Orang Sunda
Perkawinan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda. Biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Perkawinan di tanah Sunda misalnya dilakukan baik secara adat maupun secara agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa didalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama.
Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan. Di beberapa Desa di sekitar Bandung, diperoleh data bahwa dari 360 responden ada 287 yang menyatakan bahwa umur yang baik untuk menikah yaitu antara 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat tidak terikat suatu sistem tertentu. Hanya yang pasti perkawinan didalam keluarga batih dilarang.
Sebelum menentukan seseorang itu untuk diambil menjadi calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak, penyelidikan itu biasanya dilakukan secara serapih mungkin dan secara tertutup. Diusahakan agar dapat menantu yang baik.
Menantu yang baik disini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui mana yang baik, maka kita perlu mengetahui sistem-sistem nilai budaya yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya: “Lamun nyiar jodo kudu kakupuna” artinya kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik dari segi rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Atau “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”, artinya mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal.
Adapun caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak laki-laki maupun perempuan. Caranya mula-mula tidak serius, sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak, tempat pembicaraannya juga tidak ditetapkan, dimana saja.
Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh pemuda tersebut, maka perembukan itu dinamakan “NEUNDEUN OMONG”, artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong sampai “NYEUREUHAN” atau melamar, terjadilah saling amat-mengamati atau sidik-menyelidiki secara baik-baik. Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan Pinangan.
Pinangan inipun dilakukan dengan tata cara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka diadakan persiapan untuk melakukan acara pernikahan. Setelah tersedia persiapan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan “SESERAHAN”. Anak laki-laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan.
Pada upacara pernikahannya sendiri, dilakukan secara sederhana secara agama. Tetapi upacara “NYAWER dan BUKA PINTU” tetap ada dan merupakan yang paling menarik. Semua orang gembira dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu.
Sistem  Mata Pencaharian
Daerah Jawa Barat yang beriklim antara tropis dan sub-tropis merupakan daerah agraris yang subur. Dahulu daerah ini, terutama daerah pedalaman, memiliki banyak hutan lebat serta daerah rawa. Keadaan ini memungkinkan timbulnya cara-cara bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman berupa pertanian di ladang yang disebut ngahuma dan pola pertanian menetap, yaitu bersawah. Hingga sekarang pola pertanian sawah merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya di daerah pedesaan.
Mata pencaharian pokok masyarakat Sunda adalah:
1. Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet, dan kina.
2. Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.
3. Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.
Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, dan peternak.
Suku Sunda umumnya hidup bercocok tanam. Kebanyakan tidak suka merantau atauhidup berpisah dengan orang-orang sekerabatnya. Kebutuhan orang Sunda terutama adalah hal meningkatkan taraf hidup. Menurut data dari Bappenas (kliping Desember 1993) di Jawa Barat terdapat 75% desa miskin. Secara umum kemiskinan di Jawa Barat disebabkan oleh kelangkaan sumber daya manusia. Maka yang dibutuhkan adalah pengembangan sumber daya manusia yang berupa pendidikan, pembinaan, dll.
Di Jawa Barat pola pertanian ngahuma masih dapat kita lihat di daerah Banten dan di beberapa daerah Jawa Barat bagian selatan. Ciri-ciri yang masih jelas dari pola kehidupan ngahuma dapat kita saksikan pada masyarakat Baduy di Banten Selatan. Bentuk rumah yang sederhana terbuat dari bambu dan kayu, beratap ijuk atau alang-alang dan hanya diperkuat dengan ikatan tali bambu atau ijuk, menunjukkan bahwa pahuma (peladang) sering berpindah-pindah mengikuti pindahnya huma (ladang) mereka.
Sistem Kepercayaan Orang Sunda
Suku Sunda tidak seperti kebanyakan suku yang lain, dimana suku Sunda tidak mempunyai mitos tentang penciptaan atau catatan mitos-mitos lain yang menjelaskan asal mula suku ini. Tidak seorang pun tahu dari mana mereka datang, juga bagaimana mereka menetap di Jawa Barat. Agaknya pada abad-abad pertama Masehi, sekelompok kecil suku Sunda menjelajahi hutan-hutan pegunungan dan melakukan budaya tebas bakar untuk membuka hutan. Semua mitos paling awal mengatakan bahwa orang Sunda lebih sebagai pekerja-pekerja di ladang daripada petani padi.
Kepercayaan mereka membentuk fondasi dari apa yang kini disebut sebagai agama asli orang Sunda. Meskipun tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti seperti apa kepercayaan tersebut, tetapi petunjuk yang terbaik ditemukan dalam puisi-puisi epik kuno (Wawacan) dan di antara suku Badui yang terpencil. Suku Badui menyebut agama mereka sebagai Sunda Wiwitan [orang Sunda yang paling mula-mula]. Bukan hanya suku Badui yang hampir bebas sama sekali dari elemen- elemen Islam (kecuali mereka yang ditentukan ada lebih dari 20 tahun yang lalu), tetapi suku Sunda juga memperlihatkan karakteristik Hindu yang sedikit sekali. Beberapa kata dalam bahasa Sansekerta dan Hindu yang berhubungan dengan mitos masih tetap ada. Dalam monografnya, Robert Wessing mengutip beberapa sumber yang menunjukkan suku Sunda secara umum, "The Indian belief system did not totally displace the indigenous beliefs, even at the court centers."[1] Berdasarkan pada sistem tabu, agama suku Badui bersifat animistik. Mereka percaya bahwa roh-roh yang menghuni batu-batu, pepohonan, sungai dan objek tidak bernyawa lainnya. Roh-roh tersebut melakukan hal-hal yang baik maupun jahat, tergantung pada ketaatan seseorang kepada sistem tabu tersebut. Ribuan kepercayaan tabu digunakan dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.
Kini Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten tetapi juga ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Selatan. Praktek-praktek sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta.Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong). Hal yang menarik dalam kepercayaan Sunda, adalah lakon pantun Lutung Kasarung, salah satu tokoh budaya mereka, yang percaya adanya Allah yang Tunggal (Guriang Tunggal) yang menitiskan sebagian  kecil diriNya ke dalam dunia untuk memelihara kehidupan manusia (titisan Allah ini disebut Dewata).  Ini mungkin bisa menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan Kabar Baik kepada mereka.
Bahasa dan Tulisan Sunda
            Dalam bahasa Sunda dikenal dengan dua tingkatan yaitu bahasa kasar dan bahasa halus. Bahasa Sunda merupakan dari cabang Melayu-Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan di sebagian besar provinsi Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi di mana penutur bahasa ini semakin berkurang), melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah, dan di kawasan selatan provinsi Banten. Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan", sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai "Clacap".
            Bahasa Sunda memiliki catatan tulisan sejak milenium kedua, dan merupakan bahasa Austronesia ketiga yang memiliki catatan tulisan tertua, setelah bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Tulisan pada masa awal menggunakan aksara Pallawa. Pada periode Pajajaran, aksara yang digunakan adalah aksara Sunda Kaganga. Setelah masuknya pengaruh Kesultanan Mataram pada abad ke-16, aksara hanacaraka (cacarakan) diperkenalkan dan terus dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai abad ke-20. Tulisan dengan huruf latin diperkenalkan pada awal abad ke-20 dan sekarang mendominasi sastra tulisan berbahasa Sunda.
Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada lima suara vokal murni (a, é, i, o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (ɤ), dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya ditulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.
Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f -> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.
Desa Di Jawa Barat
Menurut Sutardjo Kartodikusuma desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Sedangkan menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Di desa sistem kekerabatannya masih sangatlah kental, maksudnya bahwa setiap orang memeiliki rasa saling peduli yang relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan. Begitu pula yang terjadi di daerah pedesaan suku Sunda di Jawa Barat yang terkenal dengan prinsip hidup “makan tidak makan yang penting kumpul”. Prinsip tersebut seoalah-olah menggambarkan bahwa masyarakat Sunda sangat menyayangi satu sama lain sehingga tidak rela bila terpisah jauh. Sistem adat istiadat serta kebiasaan tradisional masih sering dilakukan oleh masyarakat pedesaan suku sunda di daerah Jawa Barat. Kebiasaan tradisional ini pun sangat berpengaruh pada sistem komunikasi yang terdapat dalam masyarakat pedesaan suku sunda.
Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan administratif terkecil, yang menempati tingkat yang paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Sebagai suatu kesatuan administratif suatu desa mempunyai suatu pemerintahan desa, yang mengurus rumah tangga desa. Di seluruh desa di Jawa Barat sistem pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan bagi pejabat-pejabatnya terdapat perbedaan. Desa Bojongloa misalnya, sebuah desa yang terletak di lereng gunung Tampomas di sebelah barat Sumedang dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyatnya.
Di pedesaan wilayah jawa Barat pengaruh pendapat seorang pemimpin atau orang yang dituakan atau orang yang dianggap penting dan dihormati warga sangatlah besar. Dapat kita ambil contoh di desa Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Di desa tersebut, pendapat seorang pemimpin seperti kepala desa maupun camat adalah sesuatu yang dianggap benar dan bermanfaat sehingga sebagian besar masyarakat mematuhi apa yang dikatakan oleh pemimpin tersebut.
Rumah Adat Sunda

Setiap rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing. Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter.  Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk menaiki rumah disediakan tangga yang disebut Golodog terbuat dari kayu atau bambu, biasanya tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi pula untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.

Rumah adat Sunda sendiri sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA6gZOn5T5UsO6jhauopWldw1Q2KGMkpfDjL3qDgIOgcp85kMRfagc1mmytA7PXaFUfXI0QEHGEFb51v8GdQhEpsDAbZbw4DyOhrwHZLOXzaKwMbEz9nx5u7xCcfZQQbpbwyl_v8bCU10/s1600/jenis+dan+bentuk+rumah+tradisional+sunda.jpg 
Jolopong -atas dasar popularitasnya itu- penelusuran saya pun lalu semakin mengarah pada bentukan rumah adat yang satu ini.  Bentuk Jolopong sendiri memiliki dua bidang atap. Kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.

Seni Musik dan Suara
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :
  1. Bubuy Bulan
  2. Es Lilin
  3. Manuk Dadali
  4. Tokecang
  5. Warung Pojok
Senjata Tradisional Sunda
Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Bagian-bagian Kujang
http://www.budaya-indonesia.org/iaciWeb/images/thumb/c/c9/TIE_KUJANGNAGA.JPG/50px-TIE_KUJANGNAGA.JPGhttp://www.budaya-indonesia.org/iaciWeb/images/thumb/1/19/TIE-KUJANG_BERLANJUT.JPG/50px-TIE-KUJANG_BERLANJUT.JPG150px-TIE_WARUGA_KUJANG
Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
JaBar_Gbr


Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, dkk.  2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Sunda
http://kultivar.blogspot.com/2008/02/sistem-kekerabatan-dan-perkawinan.html



0 comments:

Post a Comment